Minggu, 11 Juli 2010

BELAJAR DENGAN POLA BERMAIN

BELAJAR DENGAN POLA BERMAIN
I. Pendahuluan
Pada kondisi sekarang ini, banyak pendapat tentang teori pembelajaran, terutama pembelajaran tentang anak usia dini. Dimana kecendrungan orang tua atau pengasuh tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika anak mulai mogok sekolah. Hal itu seringkali disebabkan si anak tidak mampu mengungkapkan perasaannya secara terus terang mengenai masalah yang dihadapi. Hal ini diperparah oleh situasi dimana kebersamaan antara orang tua dengan anak pada saat ini sudah sangat terbatas. Di kota-kota besar umumnya orang tua mempercayakan penjagaan anak kepada baby sister atau pembantu untuk menjaga dan merawat anaknya, sehingga komunikasi antara anak dengan orang tua melalui orang ketiga. Apalagi bagi anak usia dini yang masih berusia 2 tahun hingga 5 tahun hal ini sangat kurang tepat dan tidak baik.
Tanpa diketahui apa penyebab atau alasan jelas anak usia dini sering mogok sekolah. Lalu apa tindakan yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi kondisi anak bila mogok sekolah tanpa alasan? Ada banyak hal yang dapat dilakukan atau diperhatikan oleh orang tua terutama dalam menghadapi anak usia dini, misalnya, mencari penyebabnya atau bekerja sama dengan guru untuk membujuk anak agar mau sekolah. Namun asumsi awal yang umum menjadi salah satu penyebab mengapa anak takut bersekolah adalah masalah kemandirian. Di rumah si anak kecendrungan mendapatkan perlakuan istimewa dari orang tuanya dimana segala keperluan dan kebutuhannya selalu dilayani oleh orang yang ada disekitarnya apakah perawatnya atau bahkan orang tuanya, sedangkan di sekolah si anak diajarkan untuk mandiri, melakukan segala sesuatunya sendiri dengan sedikit bantuan dari guru atau edukatornya. Hal ini yang sering memicu anak menjadi mogok sekolah karena ia merasa tidak begitu nyaman apabila mengerjakan pekerjaannya sendiri di sekolah. Untuk itu, perlu dicari solusi atau metoda pembelajaran agar si anak betah hadir ke sekolah.

II. Permasalahan
Dari penjelasan tersebut di atas, ada perbedaan keinginan siswa, atau keinginan anak dengan kondisi yang terjadi dan kondisi yang dia alami. Orang tua, pengasuh anak dan guru menginginkan agar anak tersebut mau belajar sesuatau demi target tujuan yang harus dicapai oleh seorang anak. Oleh sebab itu, perlu dicarikan metode pembelajaran yang dapat menjawab persoalan tersebut sehingga anak betah hadir ke sekolah.
III. Pembahasan
Bermain dalam sekolah adalah proses pengajaran yang menggunakan alat permainan, sumber belajar, dan kegiatan tanpa menggunakan peralatan. Tujuannya memberi informasi, cerita, kebenaran pelajaran, dan menumbuhkan semanagat belajar anak-anak yang dapat diterima dengan rasa senang. Berdasarkan pengalaman penulis, praktik pengajaran di sekolah hanya bercerita kepada anak sekolah sebagai peserta didik. Mereka tidak banyak dilibatkan secara aktif partisipatif tetapi hanya sebagai pendengar saja. Dengan adanya alat permainan dan sumber belajar, anak-anak diharapkan akan memahami pelajaran dengan santai dan tanpa paksaan karena asyik bermain. Untuk menguatkan pemahaman kita tentang belajar dan bermain. Beberapa pendapat dari para ahli dan tokoh pendidikan tentang bermain dan belajar.

1. Montessori (1966)
Ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

2. Frobel (1782 – 1852)
Imajinasi merupakan dunia anak-anak. Setiap benda yang dimainkan berfungsi sesuai dengan imajinasi anak. Misal, garisan yang dipegang dapat dianggap sebagai pedang atau pesawat.

3. Mayke (1995)
Belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktikkan, dan mendapat bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya.

4. Jane M. Healy (1994)
Jaringan serabut syaraf akan terbentuk apabila ada kegiatan mental yang aktif dan menyenangkan anak. Setiap respons terhadap penglihatan, bunyi, perasaan, bau, dan pengecapan akan memperlancar hubungan antarneuron (jaringan syaraf). Ibarat "jalan setapak di hutan belantara", serabut syaraf pada awalnya menunjukkan jejak yang belum jelas. Namun dengan terjadinya pengulangan, jalan setapak tersebut akan semakin jelas dan mudah ditempuh serta dilewati. Makin sering otak bekerja, otak akan semakin mahir dan terampil. "Setiap anak akan menganyam jaringan intelektualnya," tegas Healy.

5. Piaget (1977)
Pada usia 2 tahun seorang anak sudah mulai bermain. Permainan ini jelas terlihat dalam gerakan-gerakan tubuh, kaki, tangan, dan bagian tubuh lain untuk menyelidiki dunia sekitarnya dan berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya. Periode ini adalah periode kehidupan motor sensorik seorang anak manusia, untuk menerima dan menyesuaikan objek-objek yang berhubungan dengan mereka, sesuai waktu dan tempat. Mereka menggunakan segala sarana permainan untuk menyatakan imajinasi, pikiran, perasaan, dan fantasi mereka.

6. Armytage (1992)
Hidup adalah suatu permainan. Pernyataan ini merupakan refleksi dari kristalisasi hidup manusia dari tahap ke tahap, yang pada prinsipnya mengakui bahwa permainan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

7. Lerner (1982)
Dasar utama perkembangan bahasa adalah melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang kaya. Pengalaman-pengalaman yang kaya itu akan menunjang faktor-faktor bahasa yang lain, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, menulis. Faktor mendengarkan dan membaca termasuk ketrampilan berbahasa yang menerima (reseptif), sedangkan berbicara dan menulis merupakan ketrampilan aktif (ekspresif).

8. Hughes (1995)
Pada hakekatnya, bermain meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif. Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas adalah kelancaran, fleksibel, pilihan, orisinil, elaborasi.

Pemahaman tentang bermain juga akan membuka wawasan dan menjernihkan pendapat kita sebagai pelayan sekolah minggu sehingga menjadi luwes terhadap kegiatan bermain di sekolah minggu dan mendukung setiap aspek perkembangan anak. Proses pengajaran yang dimaksudkan adalah pelayan sekolah minggu, yang memberi kesempatan yang lebih banyak kepada anak-anak untuk bereksplorasi, sehingga pemahaman tentang konsep dan pengertian dasar akan membuat anak-anak mengerti konsep belajar sejak usia dini karena dapat dipahami dengan lebih mudah.

Peran Guru ketika Anak Bermain

1. Partisipasi aktif dari guru ketika mendampingi akan sangat bermanfaat bagi anak dalam bermain. Misal permainan balok berwarna untuk membuat sesuatu objek, dimana guru harus bertidak sebagai pelayan bagi murid tersebut.
2. Guru lebih baik berperan sebagai fasilitator.

3. Intonasi yang tidak meninggi dan berbicara dengan lembut dapat digunakan untuk menghadapi anak yang perilakunya kurang baik. Dengan kelembutan, kita akan lebih mudah menyentuh perasaan anak.

4. Guru dapat memerhatikan bahasa tubuh anak ketika berkomunikasi dengan anak-anak, sebab bahasa tubuh merupakan ungkapan diri anak ketika anak sulit untuk mengatakannya.

5. Setiap anak memiliki keunikan tersendiri dalam bermain. Guru harus dapat melihat berbagai keunikan itu secara nyata. Misalnya ada anak yang dengan mudah menangkap dan memberi respons yang baik tentang apa yang disampaikan gurunya.

IV. Kesimpulan dan Saran
IV.1. Kesimpulan.
1. Hingga saat ini, proses bermain dalam pembelajaran di sekolah adalah solusi yang tepat untuk mengatasi kemalasan anak datang ke sekolah.
2. Masih ditemukannya sewaktu guru berada di ruangan belajar belum bertindak menjadi seorang fasilitator, tetapi cendung menjadi penguasa ruangan kelas.
IV.2. Saran
1. Hingga saat ini, proses bermain dalam pembelajaran di sekolah adalah solusi yang tepat untuk mengatasi kemalasan anak datang ke sekolah.
2. Masih ditemukannya sewaktu guru berada di ruangan belajar belum bertindak menjadi seorang fasilitator, tetapi cendung menjadi penguasa ruangan kelas.

V. Daftar Pustaka
1. Igrea Siswanto, Pengertian Bermain dalam Sekolah Minggu, Penerbit ANDI, Yogyakarta 2006
2. Kenneth O. Gangel, Instructive Play as Learning, SP Publication IncU.S.A, 1974
3. Susan Kettmann, Permainan Aktivitas Terbaik Untuk Anak, Primamedia, Jakarta 2005
4. http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar