Jumat, 22 Juli 2011

HIDUP SEDERHANA DENGAN TAULADAN BUNG HATTA

Tulisan ini bukan mempromosikan sepatu dari jaman ke jaman tetapi ini adalah promosi kejujuran seorang pemimpin bangsa... jaman sekarang kayanya rada sulit mencari yang seperti Pahlawan kita yang satu ini.
Bukittinggi, Padang Sumatera Barat.... 22 Juli 2011..( Pkl 11.30 - 14.00)


Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Pada hal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari orang asing.

Pendapat Meutia Hatta (Salah satu anak Bung Hatta)
Kesederhanaan keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil presiden itu berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari penuturan Meutia mengenai kisah sebuah mesin jahit. Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Menurut antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya -Rahmi Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.
Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp 100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit. "Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Ibu kemudian bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada sanering. Dengan kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri" kata istri ekonom Prof Dr Sri-Edi Swasono itu.

Pendapat Ny. Rahmi Hatta (Istri Bung Hatta)
Di tahun 1950-an, ketika Bung Hatta masih menjabat sebagai wakil presiden Republik Indonesia, keteguhan prinsipnya kembali tercermin dalam kehidupan keluarga. Pada saat sekarang, mungkin saja peristiwa yang saya alami itu dapat direnungkan kembali.
Pada suatu waktu, uang Republik Indonesia (ORI) mengalami pemotongan. Seperti halnya para ibu rumah tangga lainnya, di masa itu saya sedang menabung karena saya berniat untuk membeli sebuah mesin jahit. Tentu dapat dibayangkan betapa kecewanya hati saya saat itu. Ketika Bung Hatta pulang dari kantor, saya mengeluh, "Aduh, Ayah ?! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang ? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.?"
Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab, "Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!"
Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya?"
Akhirnya sebagai seorang istri saya sepenuhnya dapat memahami prinsip suami saya itu. Berkat pengalaman hidup bersama bertahun-tahun, keyakinan saya terhadap prinsip Bung Hatta makin besar pula. Prinsip itu juga yang menyadarkan saya, agar saya tidak perlu menghalangi sikapnya ketika Bung Hatta berniat untuk meletakkan jabatannya sebagai wakil Presiden Republik Indonesia.

Rabu, 20 Juli 2011

Anima Bintang

Intro : G C D G (2x)
G C
Kan kuabaikan sgala hasratku
D
Agar kaupun tenang dengannya
G C
Kupertaruhkan semua ragaku
D G
Demi dirimu bintang
Reff 1 :
G C D G
Biarkan ku menggapaimu, memelukmu, memanjakanmu
G C D G
Tidurlah kau dipelukku, dipelukku, dipelukku
Intro : G Am C D
G C
Biar kupendam sgala hasratku
D
Tuk miliki dirimu
G C
Karna semua tlah tersiratkan
D
Dirimu kan milikku
Back To : Reff 1
Intro : Em Am C D
Em Am C D
Reff 2 :
G C D G
Biarkan ku menggapaimu, memelukmu, memanjakanmu
G C D G
Tidurlah kau dipelukku, dipelukku, dipelukku
G C D G
Hingga kau mimpikan aku, mimpikan kita, mimpikan kita
G C D G
Jangan pernah kau terjaga, dari tidurmu, dipelukanku
G C D G
Oooo….Oooooo…..Oooooo….Dipelukanku
G C D G
Oooo….Oooooo…..Oooooo….Dipelukanku

Tidurlah kau dipelukku
Intro : G C D G (2x)
G C
Kan kuabaikan sgala hasratku
D
Agar kaupun tenang dengannya
G C
Kupertaruhkan semua ragaku
D G
Demi dirimu bintang
Reff 1 :
G C D G
Biarkan ku menggapaimu, memelukmu, memanjakanmu
G C D G
Tidurlah kau dipelukku, dipelukku, dipelukku
Intro : G Am C D
G C
Biar kupendam sgala hasratku
D
Tuk miliki dirimu
G C
Karna semua tlah tersiratkan
D
Dirimu kan milikku
Back To : Reff 1
Intro : Em Am C D
Em Am C D
Reff 2 :
G C D G
Biarkan ku menggapaimu, memelukmu, memanjakanmu
G C D G
Tidurlah kau dipelukku, dipelukku, dipelukku
G C D G
Hingga kau mimpikan aku, mimpikan kita, mimpikan kita
G C D G
Jangan pernah kau terjaga, dari tidurmu, dipelukanku
G C D G
Oooo….Oooooo…..Oooooo….Dipelukanku
G C D G
Oooo….Oooooo…..Oooooo….Dipelukanku

PAHITNYA KEHIDUPAN

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua
yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.

"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdamping an, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu.
Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak
air, mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?". "Segar.", sahut tamunya.
Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajak nya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang
kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segala nya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak
Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak
muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

- N N -

Aku pernah datang dan aku sangat patuh

Aku pernah datang dan aku sangat patuh
oleh Setitik Embun Inspirasi pada 08 Juni 2011 jam 10:30

Kisah seorang gadis yatim piatu yang dirawat dan dibesarkan oleh laki-laki miskin. Gadis penderita leukemia yang memutuskan melepaskan biaya pengobatan senilai 540.000 Dollar. Dana pengobatan tersebut berhasil dihimpun dari perkumpulan orang China diseluruh dunia. Dia rela melepaskan dana pengobatan tersebut dan membaginya kepada tujuh anak yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Kalimat terakhir yang ia tinggalkan dalam surat wasiatnya adalah, "Saya pernah datang dan saya sangat patuh". Seorang gadis berusia delapan tahun yang mempersiapkan pemakamannya sendiri.

Sejak lahir dia tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang ayah angkat yang memungutnya dari sebuah lapangan rumput. Seorang pria miskin berusia 30 tahun. Karena miskin, tak ada perempuan yang mau menikah dengannya.

30 November 1996, adalah saat dimana pria miskin tersebut menemukan bayi yang sedang kedinginan diatas hamparan rumput. Diatas dadanya terdapat selembar kartu kecil tertuliskan tanggal, "20 November jam 12".

Ketika ditemukan, suara tangisnya sudah melemah. Pria tersebut khawatir jika tak ada yang memperhatikannya, maka bayi tersebut akan mati kedinginan. Ia memutuskan untuk memungutnya. Dengan berat hati karena takut tak dapat menghidupinya kelak karena kemiskinannya, ia memeluk bayi tersebut dambil berkata "apa yang saya makan, itulah yang kamu makan". Kemudian ia memutuskan untuk merawat bayi tersebut dan memberinya nama Yu Yan.

Yu Yan akhirnya dirawat dan dibesarkan oleh seorang pria lajang dan miskin yang tak mampu membeli susu. Yu Yan hanya diberi minum air tajin (air hasil cucia beras). Keadaan yang berat tersebut membuat Yu Yan tumbuh menjadi anak yang lemah dan sakit-sakitan karena kurangnya asupan gizi. Namun Yu Yan adalah anak yang sangat penurut dan patuh.

Musim silih berganti, Yu Yuan pun bertambah besar dan memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, mereka sangat menyukai Yu Yan, meskipun ia sering sakit-sakitan. Yu Yan tumbuh ditengah kekhawatiran ayahnya.

Yu Yuan sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Teman-temannya memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang ayah angkat. Dia sadar bahwa ia harus menjadi anak yang penurut dan tidak boleh membuat ayahnya sedih.

Yu Yan sangat mengerti bahwa dia harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah agar ayahnya yang tidak pernah sekolah bisa merasa bangga. Dia tidak pernah mengecewakan ayahnya. Yu Yan sering bernyanyi untuk ayahnya. Semua hal lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada ayahnya. Senyum sang ayahlah yang bisa membuatnya bahagia.
Pada suatu pagi di bulan Mei 2005, ketika Yu Yuan sedang membasuh mukanya, ia terkejut karena air bekas basuhan mukanya berubah menjadi berwarna merah akibat darah yang menetes dari hidungnya. Darah dari hidungnya terus mengalir tanpa bisa dihentikan.

Ayahnyan segera melarikan Yu Yan ke puskesmas untuk mendapat pertolongan dokter. Dipuskesmas ia diberi suntikan sebagai pertolongan awal. Namun ternyata dari bekas suntikan tersebut juga mengeluarkan darah yang terus mengalir diikuti dengan munculnya bintik-bintik merah dipahanya. Sang dokter menyarankan ayahnya untuk membawa Yu Yan kerumah sakit.

Sesampainya dirumah sakit Yu Yan dan ayahnya masih harus menunggu karena tak mendapat nomor antrian. Selama menunggu, darah dari hidung Yu Yan terus mengalir. Ia hanya bisa menunggu dikursi panjang ruang tunggu sambil menutup hidungnya agar darahnya tidak mengotori lantai. Tetapi banyaknya darah yang keluar tak bisa dhentikan dan mulai mengotori lantai sehingga perlu tampung dalam sebuah baskom. Dalam waktu singkat, baskom tersebut telah dipenuhi oleh darah Yu Yan.

Dokter yang melihat keadaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah didiagnosa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sedikitnya membutuhkan biaya sebesar 300.000 $. Ayahnya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Ia hanya hanya ingin menyelamatkan anaknya. Ayahnya berusaha mencari pinjaman dari saudara-saudaranya. Setelah jerih payah yang dilakukan, uang yang ia peroleh jumlahnya sangat sedikit. Ia memutuskan untuk menjual rumahnya. Namun sangat sulit untuk menjual rumahnya yang kumuh dalam waktu cepat.

Beban pikiran yang ditanggung membuat ayah Yu Yan semakin kurus. Kesedihannya terlihat oleh Yu Yan. Melihat keadaan ayahnya, Yu Yan menjadi sangat sedih. Diruang perawatan, ia menatap ayahnya dan menggenggam tangan sang ayah bermaksud mengatakan sesuatu kepada yahnya. Air mata Yu Yan mulai menetes. Bibirnya bergetar. "Ayah, saya ingin mati" kata Yu Yan dengan suara yang sangat lemah. Ayahnya terkejut mendengar apa yang dikatakan anak angkatnya itu. "Kamu masih terlalu muda, kenapa kamu ingn mati sayang?". "Aku hanya anak yang dipungut dari lapagan rumput. Nyawaku tak berharga. Biarlah aku keluar dari rumah sakit ini".

Karena keadaan yang teramat sulit, dengan terpaksa ayahnya menyetuji permintaan anaknya. Sadar dengan sisa hidupnya yang singkat, gadis yang masih berusia delapan tahun itupun mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakaman untuk dirinya.

Sejak kecil Yu Yan tak pernah menuntut apapun pada ayahnya. Namun hari itu, setelah ia keluat rumah sakit ia mengajukan beberapa permintaan kepada ayahnya. Ia ingin mengenakan baju baru dan berfoto dengan ayahnya. Sang ayah memenuhi permintaan Yu Yan, ia membelikan baju baru untuk anaknya itu dan pergi ke studio foto untuk berfoto bersama anaknya.

Dengan baju barunya Yu Yan berpose bersama ayahnya. Dalam sakit yang dideritanya Yu Yan berusaha tersenyum sambil menahan air matanya yang menetes mebasahi pipi. "Kalau ayah meridukanku setelah aku tidak ada, lihatlah foto ini", ujar Yu Yan kepada ayahnya.

Keadaan Yu Yan diketahui oleh seluruh warga desa tempat tinggal Yu Yan. Selama ini, ia dikenal sebagai anak yang baik dan cerdas. Penderitaan yang ditanggung Yu Yan dan ayahnya membuat penduduk desa bersimpati dan berupaya membantu mereka dengan berusaha menggalang dana dari banyak orang.

Berita tentang Yu Yan pun meluas sampai akhirnya terdengar oleh seorang wartawati bernama Chun Yuan. Berkat laporan yang ditulis di surat kabar tempat wartawati itu bekerja, cerita tentang anak yang mempersiapkan pemakamannya sendiri itu dengan cepat tersebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang tergugah dengan pemberitaan di surat kabar tersebut. Kabar tentang Yu Yan akhirnya tersebar hingga keseluruh dunia. Orang-orang yang mengetahui cerita tentang Yu Yan mulai menyebarkan email kebanyak orang diselurh dunia untuk menggalang dana.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah terkumpul 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.
Sumbangan dana masih terus mengalir dari segala penjuru dunia meskipun pengumuman dihentikannya penggalangan dana telah disebarkan.Segala yang dibutuhkan telah tersedia untk pengobatan Yu Yan, semua orang menunggu kabar baik tentang Yu Yan. Seseorang bahkan mengatakan dalam emailnya, "Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta."

Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan. Dokter Shii Min yang menangani Yu Yan memintanya untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir deras karena merasa bahagia.

Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggilnya Mama. Suara itu, Shii Min kaget, ia tersenyum sambil berkata, "Anak yang baik".

Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan. Banyak juga orang yang menanyakan kabar Yu Yuan melalui email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi. Fisik Yu Yan semakin lemah.

Yu Yuan pernah bertanya kepada Fu Yuan, seorang wartawti, "Tante kenapa mereka mau menyumbang uang untuk saya? Wartawati tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati". "Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati" ujar Yu Yan. Dari bawah bantal tidurnya gadis kecil itu mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante ini adalah surat wasiat saya."

Fu yuan kaget setelah mebaca surat wasiat dari Yu Yan. Ternyata gadis tak berdaya itu telah mempersiapkan pemakamannya sendiri. Seorang anak berumur delapan tahun yang sedang menghadapi kematian menulis tiga halaman surat wasiat yang dibagi menjadi enam bagian.

Lewat surat wasiatnya itu YuYan menyampaikan rasa terimakasih sekaligus megucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang telah sangat peduli dengan keadaanya. Kalimat terakhir dalam surat wasiat tersebut berbunyi, "Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibsumbangkan untuk sekolah saya. Dan katakana kepada pemimpin palang merah, Setelah saya meninggal, sisa biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya agar mereka lekas sembuh". Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya. "Saya pernah datang, saya sangat patuh", itulah kata-kata terakhir yang keluar dari bibir Yu Yuan.

Pada tanggal 22 agustus, akibat pendarahan dibagian pencernaan Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakitnya itu akhirnya menutup mata untuk selamanya. Berita ini merupaka pukulan bagi banyak orang yang mengharapkan kesembuhan Yu Yan.

Diatas batu nisannya tertulis, "Aku pernah datang dan aku sangat patuh" (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir riwayat hidup Yu Yuan.

Sesuai pesan Yu Yuan, sisa dana sebesar 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. "Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan kami juga akan kami ukir dengan kata-kata "Aku pernah datang dan aku sangat patuh".

Ikatkan Sehelai Pita Kuning Bagiku......

If GOD Always Forgives you, Will you forgive the others........

Ikatkan Sehelai Pita Kuning Bagiku......

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak,,Georgia,Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik,sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam-malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York.Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya. Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas,
dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara. Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai
pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah
lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku." Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya?

Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, Pak lewat White Oak, jalan pelan-pelan. ..kita mesti lihat apa yang akan terjadi..." Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetes di matanya... Dia tidak melihat sehelai pita kuning... Tidak ada sehelai pita kuning.... Tidak ada sehelai..... . Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon beringin
itu...Ooh... seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning...!!! !!!!!!!!! Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973. Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih jauh lebih manis jika kita bisa melakukan apa yang ditorehkan lagu tersebut,...

Suai, Isteri,saudara, Pacar dan Sobat yang baik....

Apakah anda juga bisa memaafkan bagi orang2 yang telah berbuat salah kepada anda?.... isteri si pemabuk itu telah memberikan begitu besar kesetiaannya dan mau memaafkan suaminya.

If GOD Always Forgives you, Will you forgive the others ?....